Dukuhwaluh Kala Malam..

… pena santri. Kupejamkan mata ini, kurapatkan benar kelopak yang mulai terasa perih oleh rasa kantuk. Dan kesadaranku pun mulai menurun. Turun jauh ke dasar kenisbian diri. Ketiadaan. Kucoba tuk berusaha kembali kepada Sang Pencipta; Allah ta’ala.

Pesantren telah hening. Kamar-kamar asrama telah senyap ditelan gelombang gelap malam. Tapi, satu percikan bingar mulai membakar. Membakar. Dan terus membakar. Oh Tuhan, aku tersentak bangun. Kurayapi setiap mili sudut kamar yang bening. Kubersila, melipat kaki yang sudah terlalu merdeka. Aku diam.

“Ooo.. betapa kenyataan umat sangat mengusik”..denyar kepalaku kembali terasa.
“..tapi aku cuma seorang santri” Bisikku mendiamkan kalbu.
“lalu apa yang kau nanti?” bantah hatiku. “..apakah kau harus menunggu menjadi Kyai, Ustadz ataukah politisi untuk dapat memberikan sesuatu, hanya sesuatu. Sesuatu yang memberikan arti bagi umat Islam seluruhnya” seloroh hatiku. Tapi aku mengerti, ia kembali mencoba memprovokasi pikiranku dengan hal-hal yang sejatinya aku malas membahasnya.



Hati dan pikiranku kembali bertarung di malam nan dingin ini. “huh…” keluhku. Kulangkahkan kakiku keluar kamar, mengedarkan pandangan pada kota Purwokerto di bawah sana. Berkerlipan bagai sorak sorai orang yang berpesta menyambut gulitanya sang malam. Di sudut asrama aku duduk termangu.

Malam ini Dukuh Waluh dingin sekali. Bagai salju yang menyatukan dua kutub bumi. Kucium aroma wangi tanah dan dingin batu. Kusadari, telah lama aku berpesta ilmu di Pesantren ini. Bersila di halaqah, menatap huruf demi huruf yang bercerita tentang rentang isi dunia dan setelahnya. “Ah.. gerimis turun di malam ini” bisikku seolah ingin menyoraki bulir-bulir air yang runtuh di punggung bumi. Aku kembali ke kamar dan memburu pena dan buku itu. Sekilas, kulirik masjid Darussalam dari bingkai jendela. Aku tersenyum. Aku paham kini. Aku paham. “Alhamdulillah…”.